Pendidikan Anak Terlalu Dini Oleh: Igo Chaniago Guru saya di Jogja, Ustadz Fauzil Adhim pernah menulis sebuah penelitian. Ada anak ajaib asal China bernama Zhang Xinyang, yang sempat menghebohkan karena usia 2,5 tahun sudah menguasai 2000 abjad China yang rumit itu, masuk perguruan tinggi usia 10 tahun dan meraih gelar Ph.D. pada usia 16 Sebelum Zhang Xinyang ada juga William James Sidis atau akrab dengan panggilan Billy Sidis, anak dari Professor Boris Sidis yang diberi perlakuan khusus sesuai pendekatan behaviorisme ala William James. Prof. Boris sendiri memang pengagum berat William James, tokoh psikologi behaviorisme. Apakah anak-anak luar biasa ini bisa dikatakan hebat? Ternyata justru hasilnya miris. Billy Sidis yang “secemerlang” Zhang dan berakhir mengenaskan karena secara mental sangat menderita. Sebagaimana Prof. Boris, orangtua Zhang juga sangat terobsesi dengan bakat anak sehingga ia hanya fokus mengembangkan bakat. Ia memiliki 𝗱𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿 𝗽𝗲𝗿𝗶𝗸𝘀𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂 (𝙗𝙚𝙝𝙖𝙫𝙞𝙤𝙧𝙘𝙝𝙚𝙘𝙠𝙡𝙞𝙨𝙩) sangat ketat yang harus dipenuhi anak. Sangat khas pendekatan behaviorisme. Ia lupa (𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶) bahwa usia sebelum mumayyiz seharusnya fokus kepada mengembangkan kebaikan-kebaikan pada diri anak. Bukan tergesa-gesa mengembangkan bakat anak. 12 tahun setelah Zhang meraih gelar doktor termuda dalam sejarah China, ia memilih hanya duduk-duduk sepanjang hari. Zhang mengatakan, “Duduk diam dan tidak melakukan apa pun adalah kunci kebahagiaan seumur hidup.” Zhang juga menuntut orangtuanya untuk memenuhi segala keinginannya dengan mengirimi uang. Ia menganggap orangtuanya bertanggung-jawab terhadap kehampaan jiwa yang ia rasakan saat ini. Billy Sidis dan Zhang Xinyang sudah memberi contoh. Dan apakah kita sebagai orang tua ingin menjadi obsesif dan egois, sehingga mau mengorbankan anak Anda sebagai contoh berikutnya dengan sibuk mengembangkan bakat sebelum mengembangkan kebaikan-kebaikan pada dirinya? Padahal kebaikan itu baru bisa kita kembangkan apabila kita telah mengenyangkan kebutuhan psikologis dan emosional anak. Pendidikan di masa dini di negara kita, banyak orang tua yang menggegas anak anaknya agar hebat di usia BALITA. Dimasukan PAUD atau play group untuk belajar CALISTUNG (Baca Tulis Hitung) sehingga ketika orang tua mendapati anaknya yang usia 5 tahun sudah bisa membaca mereka langsung teriak “Anakku keren, kecil kecil udah bisa baca!” Lalu ia ceritakan kemana mana kehebatan anaknya yang sudah bisa membaca di usia dini. Namun orang tua tak menyadari, bahwa anak anak yang dipaksa bisa membaca sejak PAUD kelak akan tercederai fitrah belajarnya sehingga kelak di usia 10 – 12 tahun hypocampus otaknya mulai meredup dan jadi malas belajar dan malas membaca seumur hidupnya. Ada juga orang tua yang shalih dan ingin anaknya juga menjadi shalih, maka karena kurangnya ilmu dalam Tarbiyatul Aulad, maka mereka mengajarkan fitrah keimanan yang keliru dengan mengajarkan sholat terlalu dini, memasukan anak anak mereka ke TPA atau rumah tahfidz yang mulai menjamur dimana mana saat ini agar anak anak BALITA ini bisa membaca dan menghafalkan quran sejak dini. Ditambah lagi dengan kompetisi PILDACIL dan Hafidz Cilik di salah satu stasiun televisi yang membuat orang tua berlomba lomba mendaftarkan anaknya agar menjadi juara sehingga orang tua menjadi bangga. Padahal kami pernah menangani kasus, anak yang dulunya juara PILDACIL namun sekarang ini terlibat homoseks di pondoknya. Ayat Al Quran dan hadits sama sekali tak terbekas di hatinya, karena ketika ceramah ia hafal ayat Al Quran dan hadits hanya sekedar di mulut dan kerongkongan. Tidak masuk ke hatinya. Padahal Rasulullah sudah menganjurkan, “ajarkanlah sholat anakmu sejak usia 7 tahun”, bukan sejak dini. Sehingga banyak anak anak yang pintar membaca dan bahkan menghafal quran sejak dini, bukan malah bertumbuh fitrah keimananya tapi malah tercederai. Hingga ada kasus, dimana anak usia 7 tahun ketika mau masuk SD sudah mewanti wanti ibunya, untuk tidak memilihkan sekolah yang ada pelajaran tahfidznya karena ia sudah bosan sejak BALITA sudah dipaksa menghafal quran. Bukan tidak boleh anak di bawah 7 tahun diajarkan mengaji dan menghafal Al Quran, tapi ada waktunya. Allah menciptakan otak kita bertahap pertumbuhannya, sehingga fungsinya bisa dioptimalkan juga masa demi masa. Tidak langsung semua bisa dioptimalkan. Sehingga bukan berarti kita ingkar dan melarang mengajari anak tentang kitab suciNya. Semua itu ada waktunya. Sebagaimana kisah kepompong yang berproses menjadi kupu-kupu, tapi karena kita tak sabar ingin segera melihat kupu-kupu yang indah, lalu kita bantu kepompong itu dengan memotong kulitnya agar cepat menjadi kupu-kupu. Namun nyatanya, kupu-kupu itu malah tidak bisa terbang. Dalam Al Quran dikatakan, “Wal Asri” yang artinya “Demi Masa”. Maka arti demi masa itu bisa dimulai dari 1 tahun, bisa 7 tahun, bisa 40 tahun. Semua usia ini adalah masa, dan setiap masa perlakuannya berbeda. Jika dipaksakan sebelum waktunya sehingga menyalahi fitrah mereka, maka pasti akan ada penyimpangan yang terjadi. Karena kaidah “LEBIH CEPAT, LEBIH BAIK”, bukan pada tempatnya untuk digunakan dalam mendidik anak anak kita.
Mengapa Harus CALISTUNG?
Mengapa Harus CALISTUNG? Oleh: Igo Chaniago Beberapa waktu yang lalu, ada wacana dari dinas pendidikan dasar untuk menghapus mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) pada awal Sekolah Dasar (SD). Hal ini dikarenakan banyak orangtua yang menuntut anaknya untuk segera bisa membaca menulis dan berhitung (calistung) sebelum masuk ke sekolah dasar (SD). Padahal dalam kebijakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 1839/C.C2/TU/2009, sudah aturan yang melarang untuk anak usia dini diajarkan CALISTUNG dan melarang SD mengadakan tes CALISTUNG untuk penerimaan siswa baru. Saya pernah ada pengalaman ketika mewakili wali murid keponakan saya yang baru masuk SD, ketika rapat dengan kepala sekolah di sebuah SD Negeri yang favorit di dekat rumah saya. Beliau mengatakan bahwa tes CALISTUNG ini bukan faktor utama untuk menentukan calon siswa bisa diterima atau tidak, namun hanya placement test di sekolah tersebut. Ini sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat oleh pihak sekolah, karena bagaimanapun ketika calon siswa SD di tes CALISTUNG. Pastinya orang tua atau guru di TK atau PAUD harus menyiapkan anaknya untuk bisa CALISTUNG. Entah alasannya untuk syarat diterima di SD favorit atau hanya sekedar placement test. Dan ini akan membuat anak stress! Tak bisa dipungkiri, di era global yang serba kompetitif ini banyak orangtua yang rela melakukan apa saja agar anaknya terlihat lebih unggul dibanding rekan-rekan sebaya, crème de la crème. Salah satu ukuran yang populer dipakai untuk menilai kehebatan anak adalah kemampuan baca-tulis, menghitung, dan yang lagi ngetrend saat ini lomba-lomba hafalan quran dengan berdirinya banyak rumah tahfidz untuk BALITA. Dan ini didukung oleh salah satu stasiun televisi swasta yang mengadakan lomba hafidz cilik dengan hadiah-hadiah yang menggiurkan. Istilah syari’at berasal dari kata dasar dalam bahasa Arab syara’a – yasyra’u – syar’an wa syir’atan wa syari’atan. Arti secara bahasa yaitu tempat-tempat di mana air mengalir. Dan secara istilah yaitu jalan yang terang untuk mencari kejelasan. Dan syariat ini dikenakan bagi seorang muslim ketika dia sudah mencapai usia taklif, yaitu beban yang diberikan kepada manusia yang sudah baligh. Orang yang terkena beban taklif ini dinamakan mukhalaf. Maka tidak sepatutnya kita membebankan sesuatu yang berat kepada anak kita yang belum mukhalaf. Dulu kurikulum baca-tulis yang dulu baru diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sekarang sudah jadi pelajaran wajib di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), bahkan Kelompok Bermain (KB). Dan karena ini semakin menjamur, hingga ada lembaga pendidikan AIOEO yang mana mereka memang khusus menyediakan privat untuk anak TK usia dini agar bisa menguasai CALISTUNG. Sejumlah pakar pendidikan menyambut baik rencana penghapusan mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar (SD). Gagasan menghapus program CALISTUNG di tingkat awal sekolah dasar, pertimbangannya, dari sisi psikologis calistung di SD Kelas 1 dan 2 yang sejatinya belum tepat. Secara psikologis anak yang sebelumnya duduk di TK dihadapkan pada kondisi bermain dan di SD pada kondisi disiplin yang akan membuat anak tertekan. Kondisi tertekan ini berdampak pada anak yang akan sulit untuk menerima pembelajaran di masa mendatang. Karena untuk anak usia 4 – 6 tahun ini, fungsi dominan otak anak adalah di bagian batang otak. Kemudian usia 7 – 12 tahun batang otak sudah mulai menghafal dari memory yang anak dapatkan. Sedangkan bagian otak korteks yang berfungsi sebagai sistem berfikir ini masih tahap latihan. Tetapi sistem pendidikan di sekolah formal, kebanyakan malah terbalik. Di usia 7 tahun ke bawah. anak sudah dijejalkan dengan berbagai pembelajaran yang kognitif, diajarkan CALISTUNG (Baca Tulis Hitung), dan di usia 7 tahun anak anak kelas 1 SD sudah mulai belajar matematika dengan analisa. Dilanjutkan di usia SMP, ketika seharusnya anak mulai latihan untuk berfikir dengan analisa, justru oleh gurunya malah disuruh untuk menghafal jawaban. Demikian juga ketika SMA, lebih banyak lagi disuruh menghafal rumus, supaya nilainya bagus, supaya kalau lulus bisa 100% dan itu akan berpengaruh terhadap akreditasi sekolah. Hasil analisis pakar pendidikan menyatakan bahwa, dengan pelajaran CALISTUNG ini dihapus, maka anak akan banyak belajar melalui kegiatan bermain, sehingga jaringan otak anak akan melakukan proses penyambungan, yang dikenal dengan istilah sinapsis. Kondisi ini terjadi cuma satu kali dalam kehidupan manusia. Sinapsis jaringan neuron, tersambung pada usia 3-8 tahun jika lewat usia ini dan sinapsis tidak tersambung maka jaringan ini akan mati dengan sendirinya. Sehingga mengakibatkan tidak maksimalnya kecerdasan anak akibat otak anak terlalu cepat di isi dengan CALISTUNG. Mari kita didik anak-anak kita sesuai fitrahnya. Kaidah lebih cepat lebih baik, bukanlah kaidah yang tepat dalam mendidik anak. Karena dengan terburu-buru mengajarkan sesuatu yang bukan pada waktunya, justru akan berdampak buruk bagi masa depan anak. Jangan rampas masa kanak-kanak mereka yang harusnya lebih banyak bermain, tapi kita tuntut untuk belajar, hingga anak-anak stress dan orang tuapun akhirnya ikut stress. Demi waktu! Sesungguhnya semua itu ada waktunya…
Hari Pertama Sekolah
Hari Pertama Sekolah Oleh: Igo Chaniago Di usia 5 – 7 tahun, anak anak biasanya sudah mulai masuk ke dalam pendidikan formal bagi orang tua yang tidak menerapkan home schooling. Dan ini akan berpengaruh dalam kehidupan anak di masa depan jika terjadi “Trauma Event” ketika HARI PERTAMA SEKOLAH. Seringkali orang tua sangat bangga, kalau hari pertama sekolah anaknya dianggap sudah berani, sudah ga perlu ditungguin, bangga kalau anaknya tidak menangis. Padahal orang tua tidak tahu, betapa paniknya anak ketika mereka masuk sekolah di hari pertama. Kenapa anak panik di hari pertama masuk sekolah? Karena di hari pertama anak masuk sekolah, mereka yang biasanya tidak lepas dari ibunya, kemana mana bersama ibunya, ditinggal sebentar sudah nangis. Lalu sekarang dia masuk sekolah di hari pertama ini dan terpisah orang terdekatnya yang biasanya mendampinginya dengan waktu yang agak lama. Sehingga dirinya seolah menjadi sendiri, terpenjara, tempat yang membuatnya tidak nyaman, merasa sekolah telah memisahkan dirinya dengan ibunya, lalu bertemu dengan orang banyak, berada di lingkungan yang baru, harus duduk manis dan belum familiar dengan teman dan gurunya sehingga dia merasa hampa. Dan semua kesan kesan negatif tentang “hari pertama sekolah” ini didapat dari pola pengasuhan di rumah yang terlalu banyak intruksi, intervensi dan larangan. Dan orang tua banyak yang tidak memahami bahwa kondisi bisa memunculkan “Trauma Event” bagi anak. Disebut “event” karena memang trauma ini setelah dialami biasanya lama kelamaan akan terpendam, tapi tetap tersimpan di memori. Terpendam karena begitu anak pulang sekolah di hari pertamanya, orang tua langsung memuji muji keberaniannya, besok diajak beli mainan yang di inginkanya, sehingga yang awalnya anak mau nangis, akhirnya malah terhibur karena “obat” yang mendadak ini. Dan akhirnya rasa kecewa anak ini terpendam. Bagi anak yang adaptif, dia akan mudah dan cepat menyesuaikan diri. Tapi bagi anak yang biasanya diatur atur, biasanya dimanja, dia akan kesulitan menyesuaikan diri. Karena di rumah penuh dengan instruksi, maka ketika gurunya ngomong, dia akan selalu patuh. Padahal normalnya anak TK itu agak lebih sulit diatur. Kadang “Trauma Event” ini muncul kembali di saat orang mau ijab qabul pernikahan. Waktu berangkat ke penghulu rasanya berbedar bedar mirip seperti waktu hari pertama sekolah dulu. Dan begitu mau mengucap akad nikah banyak yang grogi, terbata bata hingga keringat dingin. Ada juga kisah yang lain tentang “Trauma Event”. Kisahnya, anak usia 3 tahun ikut manasik haji yang diselenggarakan sekolahnya, karena PAUDnya mau ikut lomba manasik antar. Ketika berjalan, dia merasa haus yang sangat, tapi kata guru tidak boleh makan minum. Baru boleh minum kalau sudah sampai. Padahal realita di lapangan orang ketika umroh atau haji ketika haus yah boleh minum. Sehingga anak ini sampai pingsan. Begitu dia usia 28 tahun menikah, bulan madunya umroh ke tanah suci. Ketika sebelum berangkat umroh dia ikut manasik, pingsan lagi. Dia mikir, kok bisa pingsan yah Padahal sebelum manasik dia sehat, sudah sarapan pagi juga, apalagi dia juga atlit bulu tangkis yang atletis dan selalu menjaga kebugaran. Dan ternyata setelah ngobrol sama ibunya, ternyata ibunya baru ingat kalau dia pernah mengalami hal ini ketika waktu latihan manasik ketika kecil dulu. Maka Ayah Bunda, dampingilah ananda di hari pertama mereka sekolah. Sehingga mereka tidak merasa dilepas begitu saja dan menjadi “Trauma Event” yang kelak muncul lagi ketika mereka dewasa.