BAGI HASIL MUDHOROBAH YANG TIDAK SYAR’I

  • Updated
  • Posted in Artikel
  • 3 mins read

Seringkali saya menerima konsultasi dari member pendampingan bebas riba yang mempunyai masalah hutang piutang, karena ketidakpahaman bermuamalah sehingga terjatuh ke dalam riba. Salah satunya adalah dalam skema bagi hasil yang tidak syar’i.

Kadang kita tergiur dengan keuntungan, sehingga ketika ada tawaran investasi yang nantinya akan mendapat keuntungan 10% dari modal yang disetorkan setiap bulan.

Apalagi ketika bermuamalah akadnya tidak tertulis. Sehingga jika ada force majure yang diluar dugaan, akan terjadi masalah. Misalnya usaha ternyata bangkrut atau pengelola meninggal dunia.

Dalam Islam hutang piutang harus dicatat. Jangan hanya mengandalkan kepercayaan. Yang demikian perintah Allah Ta’ala.

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (QS. Al Baqarah: 282)

Dan tentang skema bagi hasil. Ketika kita berinvestasi dengan jaminan mendapat 10% setiap bulan. Misalkan kita investasi 100 juta. Maka kita akan mendapatkan bagi hasil fix 10 juta tiap bulan. Yang demikian adalah riba. Karena memastikan sesuatu keuntungan pada akad bagi hasil dilarang dalam islam.

Karena dalam akad mudhoroh yang sesuai syariat adalah memberi keuntungan berdasarkan bagi hasil. Misal 25% dari keuntungan. Maka setiap bulan kita akan mendapatkan bagi hasil yang berbeda-beda setiap bulan, tergantung dari keuntungan usaha yang didapat. Karena namanya bisnis itu pasti omzet naik turun.

Jika kita sebagai pengelola harus setor keuntungan tetap per bulan, misal 10 juta tiap bulan. Padahal usaha yang kita kelola sedang turun omzetnya, atau bahkan usahanya rugi. Maka ini jelas kedzaliman. Sehingga pengelola harus mencari dana yang lain atau bahkan hutang ke pihak lain untuk membayar bagi hasil ke investor.

Begitu juga dengan investor, ketika kerjasama usaha omzetnya naik turun bahkan usaha rugi. Tapi sebagai investor tidak mau tahu dan pengelola harus bagi hasil tetap 10 juta per bulan, ini adalah kekejian yang tidak dibenarkan dalam muamalah yang sesuai syariat.

Padahal dalam akad mudhorobah, ketika usaha merugi karena force majeur dan bukan karena kelalaian pengelola. Sebenarnya pengelola tidak wajib mengembalikan modal investasi. Dan inilah bagi hasil yang benar. Jika usaha untung maka harus bagi untung dan jika usaha rugi maka seharusnya juga harus dibagi rugi.

Dan bagaimana jika pengelola tidak bertanggung jawab, tidak amanah dan kita tidak punya bukti perjanjian tertulis ketika akad. Karena jika tidak ada bukti sebagai landasan penuntutan maka tidak bisa menuntut seseorang.

Dalam urusan harta semua hutang yang tidak selesai di dunia maka diselesaikan di akhirat oleh Allah Ta’ala. Dan ini jadi urusan yang sangat berat. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

”Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni? Beliau pun menjawab, insya Allah. Dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)

Maka bilamana pengelola tidak mengembalikan modalnya kepada kita, yakinlah bahwa kita akan memiliki potensi tabungan pahala di akhirat kelak. Bilamana kita tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuntut di dunia, maka kelak kita bisa menuntut di akhirat.

Dan itu sangat menguntungkan karena apa apa yang diselesaikan di akhirat akan lebih besar dari apa apa yang diselesaikan di dunia. Kita berpotensi menerima pahala yang besar kelak di akhirat bilamana antum ikhlas. Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ada seseorang yang masuk surga, kemudian dia melihat ada tulisan di pintunya ”Sedekah itu nilainya sepuluh kalinya dan hutang nilainya 18 kali lipat.” (HR. Thabrani)

Barakallah fiikum.